twitter

Tulisan ini saya dedikasikan sebagai bentuk kritik sosial kepada Pihak Rektorat almamater tercinta, Universitas Syiah Kuala, yang sampai saat ini saya anggap belum bisa memberikan apresiasi yang sesuai bagi mahasiswa yang telah mengharumkan nama Unsyiah di tataran nasional.

Jika memang ada yang salah dari tulisan saya, mohon agar saya ditegur dan diluruskan.

7 September 2011 lalu saya dihubungi oleh pihak rektorat untuk menjadi delegasi Unsyiah pada Indonesia Leadership Camp 2011 yang diselenggarakan oleh kampus biru, UI-Depok, Jawa Barat. Kegiatan tersebut berlangsung tanggal 3-6 Oktober 2011 di Kampus UI. Sebuah acara yang menghimpun 120 mahasiswa berprestasi dari 40 universitas terbaik dari seluruh Indonesia. Ada tiga perwakilan dari setiap universitas, Unsyiah diwakili oleh Daudy Sukma dari Jur Manajemen FE (Juara I Mahasiswa Berprestasi Unsyiah 2011), Vera Halfiani dari Jur Math FMIPA (Juara III Mahasiswa Berprestasi Unsyiah 2011) dan yang terakhir saya (bukan siapa-siapa). Awalnya saya tidak tahu menahu mengapa saya yang dipilih, hingga akhirnya saya dapat pesan singkat dari seorang teman dekat (Nuril Annisa) yang mengucapkan selamat atas ditunjuknya saya.

Saya tidak mau menduga-duga hingga akhirnya saya menghubungi Nuril menanyakan bagaimana ia bisa tahu. Dan tahukah Anda, ternyata seharusnya posisi delegasi itu diberikan kepada Nuril Annisa (Mahasiswi FK yang juga Juara II Mahasiswa Berprestasi Unsyiah 2011). Namun, karena sesuatu dan lain hal, Nuril merekom nama saya (tanpa sepengetahuan saya lho) ke biro kemahasiswaan Unsyiah. Dan setelah ngobrol beberapa saat via telepon genggam, akhirnya Nuril menceritakan syarat-syarat yang harus dilengkapi oleh peserta, antara lain: mengisi CV (8 lembar), membuat lifeplan untuk 40 tahun ke depan, membuat tulisan essai dengan tema, “Nasionalisme, Otonomi Daerah, dan Tantangan Global” + slide untuk presentasi, membuat proyek sosial + slide untuk presentasi, dan penampilan budaya dari masing-masing universitas. Dan deadline semua tugas tersebut adalah tanggal 15 September 2011 (lihat tanggal pemberitahuan, jumlah tugas yang diberikan, dan deadline; kebayang kan gimana ekspresi saya setelah mendengar curhat Nuril?).

Tanggal 7 September 2011 akhirnya saya menjumpai seorang staf biro yang menghubungi saya. Saya diberikan semacam surat undangan dari UI, buku pedoman acara dan surat rekomendasi dari universitas. Setelah saya perhatikan baik-baik, pada sudut kanan atas surat tertulis tanggal “30 Juli 2011” dan tulisan “diterima di biro kemahasiswaan tanggal 24 Agustus 2011” tepat di bawahnya. Namun, isi surat undangan tertulis “daftar nama mahasiswa yang akan dikirim kami terima paling lambat pada 15 Agustus 2011”. Ada sedikit kekecewaan yang mendalam. Banyak pertanyaan yang muncul atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Bagaimana mungkin surat yang dikirim tanggal 30 Juli 2011 baru diterima tanggal 24 Agustus 2011. Gile bener, now the question is, “Mengapa kampusku selalu mengalami keterlambatan? Ada apa denganmu?”

Baiklah, saya dan teman-teman lain mau tidak mau harus menyelesaikan semua tugas-tugas tadi meskipun dalam waktu yang sangat terbatas. Di sela-sela kesibukan persiapan, kami menyempatkan diri untuk duduk dan diskusi terkait social project dan penampilan budaya. Pada buku pedoman juga dijelaskan bahwa peserta wajib mempersiapkan penampilan budaya serta pakaian daerah untuk ditampilkan pada malam kenduri kebangsaan. Dengan bermodalkan keberanian, akhirnya saya menemui salah satu staf biro untuk memberitahukan kebutuhan tersebut (yang pasti saya gak mau pake tu baju adat, masih ada Vera, hehehe... peace Ver \_/). Sungguh, jawabannya di luar dugaan. Coba tebak apa tanggapan “beliau” itu? Jika tebakan Anda, “Lusa kalian ke sini lagi untuk ambil ya”, yak... Anda mendapatkan point nol, salah Mbak Bro. Jawabannya itu, “Kalian hubungi saja panitia pusat dan bilang kalau kalian itu jauh, jadi gak usah bawa baju daerah, ya!” Saya kaget setengah mati mendengar tanggapan seperti ini. Trus yang dari Papua sono gak jauh apa. Saya tidak menyerah, tiga kali saya mengemis hal yang sama, dan hasilnya tetap sama.

Di satu sisi, saya pribadi benar-benar bingung dan heran dengan birokrasi yang sepertinya begitu sulit. Ingin punya nama, tapi tidak mau berkorban sedikit lebih. Begitulah mungkin jika saya bahasakan. Jika saja kami putus asa dengan sikap “beliau” tentu kami tidak akan berpikir panjang untuk susah-susah menyiapkan penampilan budaya. Ternyata orang-orang yang duduk “di sana” tidak salah tunjuk. Mahasiswa yang dipilih memang memiliki rasa pengertian dan kebesaran hati yang luar biasa.

Bayangkan saja, mawapres I, II, dan III dari UNY diberi kesempatan untuk studi banding ke Thailand + uang tunai sejumlah 2 juta rupiah. Lain lagi ceritanya dengan teman-teman saya di UI, juara I mawapres diberikan apresiasi uang tunai sejumlah 10 juta rupiah, juara II 9 juta rupiah dan juara III 8 juta rupiah. Tidak hanya itu, 10 finalis Mawapres UI juga dibina secara intensif selama 3 bulan untuk bisa lolos ke program ILC ini. Kembali, bayangkan ekspresi kami ketika mereka yang kami interview tanya balik kepada kami, “Lalu, bagaimana di universitas kalian? Juara I dapat berapa?” Dan lagi-lagi harus saya katakan, karena mahasiswa yang dipilih juga memang mahasiswa yang berhati besar (baca: Daudy & Vera-red), mereka masih berbaik hati mengatakan bahwa kami belum diberikan penghargaan apa-apa (sertifikat uda belom?). logikanya, jika si mahasiswa mau mengatakan, “Kami tidak diberikan apresiasi apa-apa”, sah-sah saja bukan? Toh, pernyataan belum tadi sampai sekarang juga masih belum terealisasi atau mungkin tidak akan terealisasi lagi.

Sungguh, sangat disayangkan, jika potensi-potensi unggul yang sudah diakui kapabilitasnya masih belum diberikan apresiasi yang pantas. Jika awalnya saya sempat berpikir bahwa kita harus menunjukkan dulu kapabilitas kita, harus mampu membuktikan bahwa kita bisa bersaing di kancah nasional, baru boleh berani meminta apresiasi, lalu sekarang kendala apa yang membuat para top management masih menutup mata dengan kemampuan yang sudah teruji beberapa kali dari mahasiswa yang sama dan model kompetisi yang berbeda. Apresiasi bukanlah untuk kesenangan delegasi mahasiswa yang ditunjuk untuk mewakili Unsyiah semata. Justru apresiasi yang diberikan kepada mahasiswa yang mampu mengharumkan nama almamaternya, tentu akan membuat mahasiswa lain lebih semangat untuk mengikuti berbagai ajang kompetisi bergengsi di negeri ini.

Satu lagi hal menarik yang saya peroleh dari catatan perjalanan saya di ranah nasional. Dari 5 event nasional yang pernah saya ikuti, 2 event di antaranya saya bertemu dengan orang yang sama. Artinya, secara kuantitas, kita masih sangat sedikit yang berpartisipasi (meskipun delegasi yang diutus juga tetap mampu berada di posisi juara setiap kalinya). Sedangkan universitas-universitas lain mampu mengirim delegasi berbeda untuk tiap event yang berbeda sehingga mereka mampu berpartisipasi pada hampir semua event kompetisi mahasiswa di tingkat nasional bahkan internasional. Disadari atau tidak, prestasi mahasiswa memegang peran penting pada akreditasi sebuah universitas. Jadi, jangan salahkan mahasiswa jika partisipasi mereka masih kurang. Perlu diketahui bahwa apresiasi yang diberikan oleh pihak universitas juga masih sangat kurang.

to be continued...
Minggu, Januari 01, 2012 | 0 comments |